Mengapa Presiden AS dan Ketua Federal Reserve selalu bertentangan karena masalah pemotongan suku bunga?
Dalam arena kekuasaan politik dan ekonomi di Amerika Serikat, ada sepasang "teman serumah" yang tidak mungkin hidup rukun—Presiden Gedung Putih dan Ketua Federal Reserve.
Satu mengawasi suara, satu mengawasi inflasi;
Satu mengejar kemakmuran jangka pendek, satu bertahan pada stabilitas jangka panjang;
Satu yang antusias untuk "melonggarkan kebijakan", satu lagi yang sangat ketat dalam mengendalikan pasokan uang.
Tensi ini mencapai puncaknya dalam konfrontasi antara Trump dan Powell:
Pertama: Trump sejak hari pertama menjabat terus meneriakkan: "Turunkan suku bunga! Turunkan suku bunga! Turunkan suku bunga! Sebaiknya dari 4,25% langsung dipotong hingga 1%!"
Kedua adalah: Namun Powell hampir pasti ingin menahan tekanan, tidak mau menjadi "yang kedua setelah Burns".
Mengapa presiden dan ketua Federal Reserve selalu tidak sejalan, terutama dalam masalah "penurunan suku bunga"? Untuk memahami masalah ini, kita perlu menguraikannya dari tiga aspek: sejarah, realitas, dan logika institusional.
Satu, Logika Politik Presiden: Kemakmuran Jangka Pendek dan Siklus Pemilihan
Presiden Amerika Serikat hanya memiliki masa jabatan empat tahun. Ini berarti:
Pertama: Jika selama masa jabatan terjadi resesi ekonomi, tingkat pengangguran meningkat, dan pasar saham lesu, ketidakpuasan pemilih akan dengan cepat berkembang.
Kedua: Untuk mendapatkan masa jabatan kedua atau membantu partai politiknya mempertahankan mayoritas di parlemen, presiden harus menunjukkan "kemampuan manajemen ekonomi", meskipun hanya untuk menciptakan "ilusi kemakmuran".
Dividen politik dari penurunan suku bunga
Penurunan suku bunga dapat membawa serangkaian efek yang langsung terlihat:
Biaya pendanaan perusahaan turun → Investasi dan ekspansi mempercepat;
Pinjaman rumah lebih murah → Permintaan konsumsi dan properti kembali hangat;
Pasar saham mendapat manfaat → pasar modal naik, akun 401(k) menjadi lebih menarik, suasana pemilih lebih baik.
Dalam logika ini, presiden secara alami cenderung untuk mendorong penurunan suku bunga karena itu adalah "stimulasi ekonomi" yang paling sederhana, tercepat, dan paling intuitif.
Dukungan Data
Melihat kembali sejarah, tingkat dukungan presiden Amerika Serikat sering kali sangat terkait dengan data ekonomi:
Reagan: Pada tahun 1984 saat terpilih kembali, pertumbuhan GDP AS mencapai 7,2%, tingkat pengangguran dengan cepat turun, dan pemilih memberikan suara dengan sangat besar untuk membiarkannya melanjutkan pemerintahannya.
George W. Bush: Setelah krisis keuangan 2008 meletus, tingkat dukungannya jatuh hingga 28%, Partai Republik kehilangan Gedung Putih.
Biden: Sebelum pemilihan paruh waktu 2022, mengalami tekanan opini publik yang besar akibat inflasi yang tinggi (CPI sempat melampaui 9%).
Oleh karena itu, tuntutan presiden untuk menurunkan suku bunga pada dasarnya adalah investasi dalam probabilitas untuk terpilih kembali.
II. Logika sistem Federal Reserve: Independensi bank sentral dan pelajaran sejarah
Berbeda dengan logika presiden yang "serba cepat", ketua Federal Reserve harus mempertimbangkan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Tugas Federal Reserve
Menurut Undang-Undang Federal Reserve, Federal Reserve memiliki "misi ganda":
Mempertahankan stabilitas harga (mencegah inflasi yang tidak terkendali); mencapai pekerjaan penuh.
Ini berarti bahwa Federal Reserve perlu membuat penilaian yang tenang dalam keseimbangan "inflasi - pekerjaan", bukan untuk melayani pemilihan pemerintah yang sedang berlangsung.
Nixon dan Burns: Pelajaran Pahit tentang Independensi Bank Sentral
Contoh paling terkenal terjadi pada tahun 1970-an. Saat itu, Amerika Serikat terjebak dalam "stagflasi": tingkat pengangguran 6,1%, tingkat inflasi 5,8%. Nixon, demi terpilih kembali, sering menekan Ketua Federal Reserve Arthur Burns. Data menjelaskan segalanya:
Pada tahun 1971, Federal Reserve menurunkan suku bunga dari 5% menjadi 3,5%;
M 1 laju pertumbuhan pasokan uang melonjak menjadi 8,4%, tertinggi sejak Perang Dunia II;
Nixon berhasil terpilih kembali, menciptakan kemakmuran sementara;
Namun, krisis minyak tahun 1973 ditambah dengan pencetakan uang yang berlebihan menyebabkan tingkat inflasi melonjak di atas 11%, dolar AS anjlok, dan harga emas meroket.
Burns dicap sebagai aib dalam sejarah, namanya menjadi sinonim untuk "kehilangan independensi bank sentral."
Keteguhan Powell
Karena itu, Powell tetap tenang menghadapi "serangan" Trump.
Dia sangat jelas: jika secara sembarangan menurunkan suku bunga secara besar-besaran, tidak hanya bisa memicu gelembung aset, tetapi juga akan membuat Amerika terjebak dalam "jebakan stagflasi" kedua. Sejarah memberitahunya: masa jabatan presiden adalah empat tahun, warisan inflasi bisa berlangsung sepuluh tahun.
Tiga, Konfrontasi Nyata: Trump vs. Powell
Pada masa jabatan pertama Trump (2017—2021), ketegangan ini sangat terlihat.
Selanjutnya, pada masa jabatan kedua 【2025——2029】, konfrontasi ini akan menjadi lebih terbuka!
Tuntutan Trump
Perang dagang meletus pada tahun 2018, ekonomi Amerika Serikat menghadapi ketidakpastian; pada tahun 2020, pandemi mengguncang, tingkat pengangguran di Amerika Serikat sempat melambung hingga 14,7%, mencetak rekor tertinggi sejak Depresi Besar; Trump sangat membutuhkan pelonggaran moneter untuk menstabilkan pasar saham, mendukung ekonomi, dan pada gilirannya mendukung masa jabatannya.
Oleh karena itu, dia sering secara terbuka menyebut dan mengkritik Powell di Twitter, bahkan menyiratkan ingin memecatnya.
Tanggapan Powell
Menghadapi suku bunga 4,25%, Trump meminta untuk diturunkan menjadi 1%; Powell bertahan di bawah tekanan, menegaskan penurunan suku bunga secara bertahap, bukan "satu ukuran untuk semua";
Ini membuat Trump marah, dia percaya: Powell secara langsung mempengaruhi resesi ekonomi AS, membuat AS terus mempertahankan era suku bunga tinggi!
Konflik Verifikasi Data
Data 1: Pada tahun 2019, setelah Federal Reserve menurunkan suku bunga tiga kali secara kecil-kecilan, indeks S&P 500 naik 28,9% sepanjang tahun, dan pertumbuhan GDP Amerika Serikat tetap di 2,3%;
Data kedua: Namun, dampak pandemi pada tahun 2020 menyebabkan ekonomi menyusut sepanjang tahun sebesar -3,4%, mencatat rekor terburuk sejak Perang Dunia II;
Data tiga: Tingkat pengangguran yang tinggi sebanding dengan suku bunga tinggi, data non-pertanian yang tidak ideal.
Dapat dilihat, tekanan politik presiden bertentangan langsung dengan "ritme hati-hati" Federal Reserve.
Empat, Sumber Sistemik Kontradiksi: Independensi Bank Sentral dan Ekspansi Fiskal
Mengapa konflik semacam ini selalu sulit dihindari? Alasannya terletak pada desain sistem itu sendiri.
"Dislokasi Fiskal Moneter"
Presiden mengelola kebijakan fiskal, suka merangsang ekonomi melalui pengurangan pajak dan peningkatan belanja pemerintah; Federal Reserve mengelola kebijakan moneter, harus menahan inflasi melalui kenaikan suku bunga atau pengurangan neraca.
Ini menyebabkan keuangan menekan pedal gas, sementara mata uang menekan rem.
"Siklus politik jangka pendek vs. siklus ekonomi jangka panjang"
Jadwal presiden adalah siklus pemilihan empat tahun; pertimbangan Federal Reserve adalah stabilitas makro selama sepuluh bahkan dua puluh tahun.
Dua jenis jadwal ini secara alami tidak sejalan, yang menentukan bahwa tuntutan kepentingan kedua belah pihak sulit untuk disatukan.
"Beban Utang dan Pengendalian Inflasi"
Saat ini utang federal AS telah melampaui 36,2 triliun dolar, dan defisit anggaran mendekati 6% dari PDB.
Jika suku bunga tetap tinggi, biaya bunga utang akan meningkat tajam (pengeluaran bunga utang AS pada tahun 2024 telah mencapai 1,1 triliun dolar).
Oleh karena itu, presiden dan kementerian keuangan lebih berharap untuk menurunkan suku bunga guna meringankan tekanan utang. Namun dari sudut pandang Federal Reserve, ini dapat memperbesar risiko inflasi.
Lima, "Taktik Penipu" dari Dong Wang dan Garis Bawah Powell
Sekarang kurang dari 10 bulan sebelum masa jabatan Powell berakhir【23 Mei 2022 – 15 Mei 2026】, Trump mulai mengalihkan fokus dari kebijakan ke pribadi.
Ini berarti:
Pertama: Jika Powell bersikeras untuk tidak menurunkan suku bunga, Trump mungkin akan lebih menekan, bahkan menggunakan sumber daya politik untuk memaksanya berkompromi;
Kedua: Jika Powell mengalah, Amerika Serikat mungkin sekali lagi menuju "perangkap Burns", yaitu kemakmuran jangka pendek yang mengorbankan inflasi jangka panjang;
Ketiga: Jika kedua belah pihak terjebak hingga setelah pemilihan, posisi sejarah Powell mungkin akan bergantung pada tahun terakhir ini.
Powell tahu betul: setelah mundur, Trump bisa melakukan apa saja; selama menjabat, dia harus menjaga independensi bank sentral, jika tidak, akan dikenang selamanya dengan buruk.
Enam, Konflik Tak Terhindarkan Dalam Perjuangan Kekuasaan
Dari Nixon dan Burns, hingga Trump dan Powell, bahkan di masa depan antara presiden mana pun dan ketua Federal Reserve, persaingan penurunan suku bunga tidak mungkin menghilang.
Karena ini bukan sekadar perbedaan kebijakan, melainkan konflik yang tak terhindarkan antara desain sistem dan tuntutan kepentingan:
Presiden menginginkan keuntungan politik jangka pendek; Federal Reserve menginginkan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Sejarah berulang kali membuktikan: ketika bank sentral menyerah pada tekanan politik, inflasi seringkali lepas kendali, dan biayanya pada akhirnya ditanggung oleh seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, hari ini Powell lebih memilih dicemooh sebagai "kepala besi" daripada menjadi "Bernanke kedua".
Dan perang tarik menarik tentang "penurunan suku bunga" ini pasti akan melintasi seluruh siklus politik dan ekonomi Amerika.
Ringkasan dalam satu kalimat: Yang diinginkan presiden adalah suara pemilih, sementara Federal Reserve menjaga kredibilitas. Keduanya tidak dapat saling berdampingan, itulah gambaran nyata dari berfungsinya sistem Amerika.
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
Presiden Amerika Serikat VS Ketua The Federal Reserve (FED)
Ditulis oleh: Yongqi dari B Circle
Mengapa Presiden AS dan Ketua Federal Reserve selalu bertentangan karena masalah pemotongan suku bunga?
Dalam arena kekuasaan politik dan ekonomi di Amerika Serikat, ada sepasang "teman serumah" yang tidak mungkin hidup rukun—Presiden Gedung Putih dan Ketua Federal Reserve.
Satu mengawasi suara, satu mengawasi inflasi;
Satu mengejar kemakmuran jangka pendek, satu bertahan pada stabilitas jangka panjang;
Satu yang antusias untuk "melonggarkan kebijakan", satu lagi yang sangat ketat dalam mengendalikan pasokan uang.
Tensi ini mencapai puncaknya dalam konfrontasi antara Trump dan Powell:
Pertama: Trump sejak hari pertama menjabat terus meneriakkan: "Turunkan suku bunga! Turunkan suku bunga! Turunkan suku bunga! Sebaiknya dari 4,25% langsung dipotong hingga 1%!"
Kedua adalah: Namun Powell hampir pasti ingin menahan tekanan, tidak mau menjadi "yang kedua setelah Burns".
Mengapa presiden dan ketua Federal Reserve selalu tidak sejalan, terutama dalam masalah "penurunan suku bunga"? Untuk memahami masalah ini, kita perlu menguraikannya dari tiga aspek: sejarah, realitas, dan logika institusional.
Satu, Logika Politik Presiden: Kemakmuran Jangka Pendek dan Siklus Pemilihan
Presiden Amerika Serikat hanya memiliki masa jabatan empat tahun. Ini berarti:
Pertama: Jika selama masa jabatan terjadi resesi ekonomi, tingkat pengangguran meningkat, dan pasar saham lesu, ketidakpuasan pemilih akan dengan cepat berkembang.
Kedua: Untuk mendapatkan masa jabatan kedua atau membantu partai politiknya mempertahankan mayoritas di parlemen, presiden harus menunjukkan "kemampuan manajemen ekonomi", meskipun hanya untuk menciptakan "ilusi kemakmuran".
Penurunan suku bunga dapat membawa serangkaian efek yang langsung terlihat:
Biaya pendanaan perusahaan turun → Investasi dan ekspansi mempercepat;
Pinjaman rumah lebih murah → Permintaan konsumsi dan properti kembali hangat;
Pasar saham mendapat manfaat → pasar modal naik, akun 401(k) menjadi lebih menarik, suasana pemilih lebih baik.
Dalam logika ini, presiden secara alami cenderung untuk mendorong penurunan suku bunga karena itu adalah "stimulasi ekonomi" yang paling sederhana, tercepat, dan paling intuitif.
Melihat kembali sejarah, tingkat dukungan presiden Amerika Serikat sering kali sangat terkait dengan data ekonomi:
Reagan: Pada tahun 1984 saat terpilih kembali, pertumbuhan GDP AS mencapai 7,2%, tingkat pengangguran dengan cepat turun, dan pemilih memberikan suara dengan sangat besar untuk membiarkannya melanjutkan pemerintahannya.
George W. Bush: Setelah krisis keuangan 2008 meletus, tingkat dukungannya jatuh hingga 28%, Partai Republik kehilangan Gedung Putih.
Biden: Sebelum pemilihan paruh waktu 2022, mengalami tekanan opini publik yang besar akibat inflasi yang tinggi (CPI sempat melampaui 9%).
Oleh karena itu, tuntutan presiden untuk menurunkan suku bunga pada dasarnya adalah investasi dalam probabilitas untuk terpilih kembali.
II. Logika sistem Federal Reserve: Independensi bank sentral dan pelajaran sejarah
Berbeda dengan logika presiden yang "serba cepat", ketua Federal Reserve harus mempertimbangkan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Menurut Undang-Undang Federal Reserve, Federal Reserve memiliki "misi ganda":
Mempertahankan stabilitas harga (mencegah inflasi yang tidak terkendali); mencapai pekerjaan penuh.
Ini berarti bahwa Federal Reserve perlu membuat penilaian yang tenang dalam keseimbangan "inflasi - pekerjaan", bukan untuk melayani pemilihan pemerintah yang sedang berlangsung.
Contoh paling terkenal terjadi pada tahun 1970-an. Saat itu, Amerika Serikat terjebak dalam "stagflasi": tingkat pengangguran 6,1%, tingkat inflasi 5,8%. Nixon, demi terpilih kembali, sering menekan Ketua Federal Reserve Arthur Burns. Data menjelaskan segalanya:
Pada tahun 1971, Federal Reserve menurunkan suku bunga dari 5% menjadi 3,5%;
M 1 laju pertumbuhan pasokan uang melonjak menjadi 8,4%, tertinggi sejak Perang Dunia II;
Nixon berhasil terpilih kembali, menciptakan kemakmuran sementara;
Namun, krisis minyak tahun 1973 ditambah dengan pencetakan uang yang berlebihan menyebabkan tingkat inflasi melonjak di atas 11%, dolar AS anjlok, dan harga emas meroket.
Burns dicap sebagai aib dalam sejarah, namanya menjadi sinonim untuk "kehilangan independensi bank sentral."
Karena itu, Powell tetap tenang menghadapi "serangan" Trump.
Dia sangat jelas: jika secara sembarangan menurunkan suku bunga secara besar-besaran, tidak hanya bisa memicu gelembung aset, tetapi juga akan membuat Amerika terjebak dalam "jebakan stagflasi" kedua. Sejarah memberitahunya: masa jabatan presiden adalah empat tahun, warisan inflasi bisa berlangsung sepuluh tahun.
Tiga, Konfrontasi Nyata: Trump vs. Powell
Pada masa jabatan pertama Trump (2017—2021), ketegangan ini sangat terlihat.
Selanjutnya, pada masa jabatan kedua 【2025——2029】, konfrontasi ini akan menjadi lebih terbuka!
Perang dagang meletus pada tahun 2018, ekonomi Amerika Serikat menghadapi ketidakpastian; pada tahun 2020, pandemi mengguncang, tingkat pengangguran di Amerika Serikat sempat melambung hingga 14,7%, mencetak rekor tertinggi sejak Depresi Besar; Trump sangat membutuhkan pelonggaran moneter untuk menstabilkan pasar saham, mendukung ekonomi, dan pada gilirannya mendukung masa jabatannya.
Oleh karena itu, dia sering secara terbuka menyebut dan mengkritik Powell di Twitter, bahkan menyiratkan ingin memecatnya.
Menghadapi suku bunga 4,25%, Trump meminta untuk diturunkan menjadi 1%; Powell bertahan di bawah tekanan, menegaskan penurunan suku bunga secara bertahap, bukan "satu ukuran untuk semua";
Ini membuat Trump marah, dia percaya: Powell secara langsung mempengaruhi resesi ekonomi AS, membuat AS terus mempertahankan era suku bunga tinggi!
Data 1: Pada tahun 2019, setelah Federal Reserve menurunkan suku bunga tiga kali secara kecil-kecilan, indeks S&P 500 naik 28,9% sepanjang tahun, dan pertumbuhan GDP Amerika Serikat tetap di 2,3%;
Data kedua: Namun, dampak pandemi pada tahun 2020 menyebabkan ekonomi menyusut sepanjang tahun sebesar -3,4%, mencatat rekor terburuk sejak Perang Dunia II;
Data tiga: Tingkat pengangguran yang tinggi sebanding dengan suku bunga tinggi, data non-pertanian yang tidak ideal.
Dapat dilihat, tekanan politik presiden bertentangan langsung dengan "ritme hati-hati" Federal Reserve.
Empat, Sumber Sistemik Kontradiksi: Independensi Bank Sentral dan Ekspansi Fiskal
Mengapa konflik semacam ini selalu sulit dihindari? Alasannya terletak pada desain sistem itu sendiri.
Presiden mengelola kebijakan fiskal, suka merangsang ekonomi melalui pengurangan pajak dan peningkatan belanja pemerintah; Federal Reserve mengelola kebijakan moneter, harus menahan inflasi melalui kenaikan suku bunga atau pengurangan neraca.
Ini menyebabkan keuangan menekan pedal gas, sementara mata uang menekan rem.
Jadwal presiden adalah siklus pemilihan empat tahun; pertimbangan Federal Reserve adalah stabilitas makro selama sepuluh bahkan dua puluh tahun.
Dua jenis jadwal ini secara alami tidak sejalan, yang menentukan bahwa tuntutan kepentingan kedua belah pihak sulit untuk disatukan.
Saat ini utang federal AS telah melampaui 36,2 triliun dolar, dan defisit anggaran mendekati 6% dari PDB.
Jika suku bunga tetap tinggi, biaya bunga utang akan meningkat tajam (pengeluaran bunga utang AS pada tahun 2024 telah mencapai 1,1 triliun dolar).
Oleh karena itu, presiden dan kementerian keuangan lebih berharap untuk menurunkan suku bunga guna meringankan tekanan utang. Namun dari sudut pandang Federal Reserve, ini dapat memperbesar risiko inflasi.
Lima, "Taktik Penipu" dari Dong Wang dan Garis Bawah Powell
Sekarang kurang dari 10 bulan sebelum masa jabatan Powell berakhir【23 Mei 2022 – 15 Mei 2026】, Trump mulai mengalihkan fokus dari kebijakan ke pribadi.
Ini berarti:
Pertama: Jika Powell bersikeras untuk tidak menurunkan suku bunga, Trump mungkin akan lebih menekan, bahkan menggunakan sumber daya politik untuk memaksanya berkompromi;
Kedua: Jika Powell mengalah, Amerika Serikat mungkin sekali lagi menuju "perangkap Burns", yaitu kemakmuran jangka pendek yang mengorbankan inflasi jangka panjang;
Ketiga: Jika kedua belah pihak terjebak hingga setelah pemilihan, posisi sejarah Powell mungkin akan bergantung pada tahun terakhir ini.
Powell tahu betul: setelah mundur, Trump bisa melakukan apa saja; selama menjabat, dia harus menjaga independensi bank sentral, jika tidak, akan dikenang selamanya dengan buruk.
Enam, Konflik Tak Terhindarkan Dalam Perjuangan Kekuasaan
Dari Nixon dan Burns, hingga Trump dan Powell, bahkan di masa depan antara presiden mana pun dan ketua Federal Reserve, persaingan penurunan suku bunga tidak mungkin menghilang.
Karena ini bukan sekadar perbedaan kebijakan, melainkan konflik yang tak terhindarkan antara desain sistem dan tuntutan kepentingan:
Presiden menginginkan keuntungan politik jangka pendek; Federal Reserve menginginkan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Sejarah berulang kali membuktikan: ketika bank sentral menyerah pada tekanan politik, inflasi seringkali lepas kendali, dan biayanya pada akhirnya ditanggung oleh seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, hari ini Powell lebih memilih dicemooh sebagai "kepala besi" daripada menjadi "Bernanke kedua".
Dan perang tarik menarik tentang "penurunan suku bunga" ini pasti akan melintasi seluruh siklus politik dan ekonomi Amerika.
Ringkasan dalam satu kalimat: Yang diinginkan presiden adalah suara pemilih, sementara Federal Reserve menjaga kredibilitas. Keduanya tidak dapat saling berdampingan, itulah gambaran nyata dari berfungsinya sistem Amerika.